GURU BISA MENJADI SAHABAT PESERTA DIDIK
DALAM proses
belajar mengajar, keberadaan guru berperan strategis bagi keberhasilan tujuan
pendidikan. Namun, sistem pendidikan yang kita anut menempatkan guru pada sosok
yang terlampau agung. Guru atau dosen sengaja didesain sebagai manusia luar
biasa, yang harus ”digugu lan ditiru”
dalam setiap laku dan ucapannya. Sistem yang demikian membuat corak pendidikan
kita indoktrinatif yang menempatkan siswa pada posisi lemah.
Tugas siswa
kemudian hanya meniru dan mengikuti apa pun perintah sang guru. Guru
seakan-akan malaikat yang tak pernah salah.
Di saat bersamaan, siswa sama sekali tak diberi keleluasaan untuk
menggali potensinya. Model pendidikan sentralistik pada sosok guru membuat
pendidikan kita sulit maju.
Sementara itu,
tuntutan profesionalisme sebagai seorang guru, sepertinya tak kunjung jua,
meskipun berbagai model pembelajaran telah ia terima. Berbagai metode mengajar
telah sempat dipelajari, dan sesekali pernah dicoba untuk dipraktekkan. Sebut
saja, misalnya ada model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL),
Quantum Learning, Cooperative Learning, Experiental Learning, atau metode
Jigsaw, inquiry, diskusi, bermain peran, dan seterusnya. Begitu akrab istilah-istilah
terebut bagi sang guru, karena itulah kata-kata yang selalu ia dengar saat
menghadiri acara pembinaan atau pengarahan. Itulah, kata-kata yang selalu
dicoba untuk dimasukkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Ternyata, seorang guru tidak cukup hanya
mengetahui berbagai model atau metode pembelajaran yang selama ini selalu
disarankan. Tidak otomatis, seorang guru yang dengan begitu rajin mengerjakan
tugas-tugas teknis administratif, seperti RPP misalnya, lantas mampu mengajar
dengan baik, efektif dan menarik. Bahkan, dalam hal-hal tertentu, pengetahuan
teroritis tersebut, tidak jarang justru telah membuat kebingungan. Tugas-tugas
teknis administratif, justru kian menambah beban, dan kurang berdampak secara
langsung pada kesiapan guru saat mengajar di kelas.
Perbaiki Komunikasi
Memperbaiki
cara berkomunikasi dengan siswa. Banyak masalah, kata orang bijak, sering kali
berawal dari cara kita berkomunikasi. Bukankah, mengajar adalah salah satu
bentuk berkomunikasi ? Berkomunikasilah dengan siswa, tak ubahnya berkomunikasi
dengan para sahabat. Keberhasilan mengajar, berawal dari penempatan diri
seorang guru di hadapan para muridnya. Apakah ia menempatkan diri sebagai
bagian dari sahabat mereka, ataukah tetap membiarkan diri sebagai sosok yang asing,
di luar dari bagian persahabatan mereka.
Sebagai seorang sahabat, sudah tentu guru akan
cenderung mengembangkan bentuk komunikasi yang akrab dan menyenangkan. Dimulai
dengan kebiasaan untuk menyapa mereka, menanyakan hal-hal yang sekiranya akan
membuat mereka lebih merasa diperhatikan atau dihargai oleh guru, hingga
memotivasi mereka untuk terus berusaha agar sukses dalam belajar. Mereka akan
merasa lebih nyaman saat mendengarkan, merasa lebih perhatian saat proses
pembelajaran, dan merasa lebih terkesan untuk terus belajar, tanpa bosan. Bukan
sebaliknya, mereka dibuat menjadi merasa tertekan saat mendengarkan, merasa
disepelekan saat mengikuti pembelajaran, dan merasa bosan untuk segera
meninggalkan ruangan.
Saat memulai mengajar di kelas, ada baiknya
untuk tidak langsung pada materi pelajaran yang telah direncanakan. Sempatkan
beberapa menit untuk menyapa mereka, menghampiri beberapa di antara siswa,
menanyakan hal-hal ringan yang dapat menyenangkannya, berilah pujian atau
penghargaan secukupnya. Berceritalah tentang sesuatu yang aktual, yang
sekiranya mereka pun tahu dan berminat untuk mendengarkan atau memberikan
tanggapan. Singkatnya, berkomunikasilah, atau berbicaralah dengan mereka secara
akrab dan bersahabat, agar hati mereka dapat disentuh dan berhasil untuk
diraih.
“Mengajar yang berhasil, adalah mengajar yang
melibatkan hati, bukan bergantung pada ucapan kata-kata yang bersifat menekan,
mengancam atau membuat mereka tidak nyaman..”.
Setelah
suasana dianggap kondusif, maka mulailah untuk menguraikan materi pelajaran.
Tidak perlu semua materi diajarkan dengan panjang lebar. Cukup menjelaskan
kerangka materi, dan memberikan penekanan pada beberapa hal yang dianggap
penting untuk diketahui dan dipahami oleh siswa. Selebihnya, biarkan lebih banyak
waktu diberikan kepada mereka untuk menanggapi, bertanya atau berpendapat.
Bahkan, bila perlu mereka harus dilibatkan secara aktif sejak awal guru
menguraikan materi pelajaran, misalnya melalui pengajuan sejumlah pertanyaan
kepada mereka. Tentu saja, pertanyaan yang diajukan adalah jenis pertanyaan
yang mengundang mereka untuk berfikir, bukan pertanyaan yang sekedar untuk
memilih jawaban, seperti ya atau tidak.
Sebagai Sahabat
Di sinilah
pentingnya menengok kembali posisi guru. Guru semestinya bertindak sebagai
sahabat yang punya kedudukan setara dengan siswa. Guru seperti inilah yang
mampu menciptakan atmosfer belajar yang hangat, mengasyikkan, membangkitkan
semangat, dan menancapkan kepercayaan diri bagi siswa. Pada gilirannya, guru
yang ”bersahabat” menjadi dambaan setiap siswa yang ujung-ujungnya berdampak
positif bagi kualitas pendidikan kita
Menjadi guru
yang baik tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang berbagai materi yang
diajarkan, tetapi juga membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik (good
communicator). Dalam berkomunikasi tidak mesti harus menjadi orang yang aktif
berbicara. Berpenampilan menarik, menggunakan bahasa tubuh yang luwes, sering
dan bisa mendengar pendapat siswa, tersenyum, tertawa, bercanda juga bagian
dari komunikasi yang baik. Karena itu, guru tidak semestinya menjadi penguasa
kelas yang selalu mendominasi, apalagi secara fisik, dalam proses
belajar-mengajar, tetapi guru harus menjadi seorang sahabat siswa yang sedang
berbagi ilmu dan pengalaman.
"Mengajar
dengan hati" sangat tepat dijadikan ilustrasi dalam belajar-mengajar.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, hati dan perasaan sangat dominan karena dalam
proses belajar-mengajar sesungguhnya syarat dengan emosi. Emosi yang dimaksud
adalah emosi positif yang melingkupi empati, perhatian, perasaan, dan cinta
sehingga guru memiliki tanggung jawab terhadap apa yang ia ajarkan kepada
siswanya.
Memberikan
perhatian secara personal kepada siswa sebagaimana seorang sahabat mutlak dan
perlu dilakukan seorang guru. Kegiatan ini bisa saja disisipkan diawal
pembelajaran dengan cara menyapa siswa, memberikan pujian, menanyakan kondisi
kesehatan siswa, dan hal-hal personal lainnya sehingga siswa merasa mendapatkan
perhatian. Bila suasana dirasa kondusif, guru bisa memulai mengajarkan materi yang
akan disampaikan. Dalam proses KBM, guru tidak mesti menjelaskan seluruh materi
dan mengesampingkan keterlibatan siswa. Guru cukup mengurai kerangka materi
yang akan dibahas lalu memberikan porsi yang cukup kepada siswa untuk ikut
terlibat di dalam pembahasan materi.
Pola hubungan
guru dan siswa sebagai sahabat sangat membantu guru dalam memberikan berbagai
penugasan yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. Tugas tidak akan
dimaknai sebagi beban, tetapi menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Siswa
akan memiliki motivasi yang tinggi dalam mengerjakan berbagai tugas yang
diberikan bila mereka memahami bahwa tugas itu dilakukan untuk meningkatkan
kemampuannya.
Untuk mencapai
tahap itu, diskusikan sedari awal menyangkut tugas apa saja yang akan mereka
kerjakan, kewajiban apa saja yang harus mereka penuhi dan hak-hak apa saja yang
akan mereka dapatkan.
Membuat
kesepakatan atau kontrak belajar menjadi penting sehingga di antara kedua pihak
(guru-siswa) memiliki komitmen. Tugas yang akan dikerjakan bukan merupakan
kehendak guru, melainkan muncul dari kesepakatan dan selanjutnya menjadi
kebutuhan siswa. Dalam kontrak belajar juga menyepakati bentuk-bentuk reward
dan punishment yang disepakati bersama. Dengan demikian, siswa akan merasa
dihargai karena telah diberikan porsi yang cukup dalam menentukan reward dan
punishment yang akan mereka terima.
Membangun pola
hubungan semacam ini harus terus dilakukan tidak hanya di dalam kelas, tetapi
juga di luar kelas. Bahkan hubungan semacam ini akan jauh lebih efektif ketika
dilakukan di luar kelas. Mendengarkan curhat siswa, berolahraga bersama, makan
bersama, bermain musik dan bernyanyi bersama atau bahkan jalan-jalan bersama
menjadi media untuk membangun keakraban guru dan siswa. Bila kegiatan-kegiatan
ini terus dilakukan, kedua belah pihak akan memiliki kesepahaman dan saling
pengertian. Siswa akan memahami tentang hal-hal yang disukai maupun tidak
disukai gurunya, karakternya, kebiasaannya, begitu pun sebaliknya sehingga satu
sama lain akan mengenalnya secara personal.
Pada posisi
ini, guru mesti mampu menurunkan egonya supaya bisa sejajar dengan siswanya.
Bila guru masih memosisikan sebagai orang yang lebih tinggi dari siswanya, pola
hubungan guru-siswa sebagai sahabat tidak akan pernah terjadi karena pada
dasarnya pola hubungan semacam ini membutuhkan kesetaraan. Siswa harus
diposisikan sejajar dengan gurunya. Meskipun sejajar, guru tidak mesti takut
akan kehilangan kewibawaan di hadapan siswanya. Justru dalam pola hubungan ini
guru akan mendapatkan penghormatan yang tulus dari siswanya. Guru akan dikenang
sebagai sosok sahabat sejati bagi siswanya.
Sebagai
sahabat, guru juga harus menjadi pendengar yang baik bagi siswanya. Kuping
seorang sahabat selalu bersedia untuk mendengarkan curhat dari sahabatnya. Bila
diperlukan, berikan respons yang baik dan positif atas curhat yang diutarakan
siswanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar